Tahun Baru Cina

Mencermati Geliat Negeri China di Tahun Naga Air
Belum pernah dalam sejarah dunia terjadi transformasi yang demikian masif, mengangkat harkat hidup rakyat dalam skala raksasa, serta mengubah pola pikir dari penentang globalisasi menghujat keseluruhan tata nilai internasional pada saat revolusi Kebudayaan 1965 menjadi sebuah Negara bangsa yang mendukung dan mendorong globalisasi melalui keterbukaan dan reformasi, itulah RRC kini. Di tahun ini lebih dari dua dasawarsa normalisasi hubungan diplomatik Indonesia-Cina. Hubungan diplomatik Republik Indonesia (RI) dan Republik Rakyat China (RRC) sebenarnya secara resmi sudah dibuka sejak 9 Juni 1950. Bahkan pada November 1953, kedua pihak menandatangani perjanjian perdagangan yang pertama di Beijing. Pada peristiwa Gerakan 30 September/ G-30 S, 30 September 1965, menjadi saat yang paling krusial di mana hubungan keduanya menjadi memburuk. Akibat peristiwa ini, pada 23 Oktober 1967 Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Beijing ditutup dan seminggu setelahnya Kedubes RRC di Jakarta pun mengalami hal yang sama. Periode 1967-1990 diwarnai pembekuan hubungan diplomatik diantara kedua negara.
Baru pada 24 Februari 1989, ketika Presiden Soeharto bertemu Menteri Luar Negeri (Menlu) RRC saat itu, Qian Qichen, dalam upacara pemakaman Kaisar Hirohito di Tokyo, dibahaslah tentang normalisasi hubungan kedua negara yang tengah membeku. Pembahasan ini kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di Tokyo antara Menlu RI, Ali Alatas, dan Qian Qichen pada 4 Oktober 1989. Akhirnya, pada 3 Juli 1990, kedua Menlu menandatangani Komunike Bersama “The Resumption of the Diplomatic Relations between the Two Countries” di Beijing dan diikuti dengan kunjungan PM Li Peng ke Indonesia sekaligus menyaksikan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Pemulihan Hubungan Diplomatik kedua negara pada 8 Agustus 1990. Sebagai imbal baliknya Presiden Soeharto pun melakukan kunjungan balasan pada 14-18 November 1990 sekaligus menandatangani pembentukan Komisi Bersama Bidang Ekonomi, Perdagangan, dan Kerjasama Teknik. Normalisasi hubungan RI-RRC ini kemudian secara bertahap membuka hubungan bagi ASEAN-RRC hingga akhirnya RRC menjadi mitra dialog penuh ASEAN pada tahun 1996 Pasca Orde Baru, terutama dalam pemerintahan presiden KH.Abdurrahman Wahid (1999-2001), Cina mendapat posisi yang istimewa dalam politik luar negeri Indonesia, ditunjukkan dengan menjadi negara pertama yang dikunjungi Abdurrahman Wahid setelah ia dilantik menjadi Presiden. Kunjungan Presiden  Abdurahman Wahid pada 1-3 Desember 1999 menjadi babak baru peningkatan hubungan bilateral kedua negara yang ditandai dengan kesediaan China untuk memberi bantuan keuangan serta fasilitas kredit, termasuk disepakatinya kerjasama keuangan, teknologi, perikanan, pariwisata, serta counter trade di bidang energi, yaitu menukar LNG Indonesia dengan produk-produk China. Pada masa pemerintahan Gus Dur dianggap sangat berjasa bagi warga Cina di Indonesia dengan membuat kebijakan yang membolehkan perayaan Imlek serta hari besar lainya bagi warga China yang sebelumnya dilarang.
Dalam pemerintahan Megawati Soekarnoputri, ditandatangani MoU untuk membentuk forum energi antara kedua negara, tepatnya pada 24 Maret 2002, yang merupakan payung investasi Cina di Indonesia dalam bidang energi. Hubungan diantara RI-RRC mencapai puncaknya dengan ditandatanganinya Deklarasi Kemitraan Strategis (Strategic Partnership) pada 25 April 2005 di Jakarta saat Presiden RRC, Hu Jintao berkunjung ke Indonesia dalam peringatan 50 tahun KAA di Bandung. Kemitraan strategis ini mencakup kerjasama di bidang politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, serta sosial budaya dan kerjasama lainnya. Setelah penandatanganan deklarasi bersama ini, hubungan kedua negara berkembang dengan pesat. Di bidang ekonomi, target volume perdagangan sebesar US $ 30 Miliar pada tahun 2010, sudah tercapai pada tahun 2008. Bahkan pada tahun 2010, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan target baru, yaitu US $ 50 miliar untuk jangka waktu 5 tahun (2010-2015). Capaian penting lainnya adalah Persetujuan tentang Kerjasama Aktivitas dalam Bidang Pertahanan pada Desember 2007; dan Perjanjian Ekstradisi pada Juli 2009. Di samping itu, pada Pertemuan Dialog ke-2 Tingkat Menko Polhukam-State Councillor, 21 Januari 2010, di Jakarta, telah ditandatangani Plan of Action (PoA) Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis RI-RRC yang berisi berbagai program kegiatan konkret sebagai upaya implementasi butir-butir kesepakatan yang tertuang dalam Deklarasi Bersama tersebut untuk periode 5 tahun ke depan (2010-2015).
Lalu, apa makna tahun baru China bagi Indonesia? Kita berharap tahun baru kali ini bisa memberi makna lebih bagi Indonesia jika ia sungguh-sungguh mau dan mampu belajar dari Cina yang kini telah tumbuh menjadi economic superpower menyaingi Amerika Serikat dan Jepang. Cina memiliki strategi yang terbukti ampuh membawanya menjadi aktor global yang sangat diperhitungkan dewasa ini. Pertama, China terlebih dahulu membangun basis ekonomi nasionalnya sebelum ia membuka pintu seluas-luasnya bagi dunia luar, termasuk ketika ia memutuskan masuk ke WTO tahun 2001. Sementara, Indonesia dengan basis ekonomi yang masih rapuh justru sudah jauh hari membuka pintu seluas-luasnya bagi negara asing. Kedua, ketika China bergabung dalam forum-forum internasional ia berupaya memaksimalkan peran dan manfaat yang diperolehnya serta memperluas pengaruhnya. Sebagai contoh di WTO, keuntungan masuk WTO di mana China bisa menembus semua pasar di seluruh dunia dimanfaatkannya dengan mengirim produk-produknya yang terkenal lebih murah ke seluruh belahan dunia. Alhasih, produk-produk China membanjir dan membuat sektor usaha domestik kewalahan, termasuk di Indonesia. China juga berupaya memengaruhi WTO itu sendiri. Meskipun secara ekonomi tergolong ekonomi maju, namun China menggalang kekuatan bersama negara berkembang dan berhadap-hadapan dengan negara maju, terutama terkait perundingan WTO mengenai subsidi pertanian dan membuat perundingan tersebut macet. Ketiga, strategi reformasi ekonomi China yang gradual dan pragmatis yang dipraktikkannya sejak tiga dekade lalu terbukti sungguh-sungguh mampu mereformasi ekonominya dan menjadikannya kekuatan ekonomi besar di abad ini.
Program-program reformasi dan keterbukaan (gaige kaifang) dilakukannya secara bertahap (gradual), seperti kebijakan reformasi perusahaan negara dan kebijakan untuk membuka wilayahnya bagi negara asing, yaitu melalui Zona Ekonomi Khusus (ZEK) yang merupakan pintu awal masuknya Foreign Direct Investment (FDI) ke Cina tahun 1980 yang untuk tahap awal dikembangkan secara terbatas pada empat wilayah saja, yaitu Shenzhen, Zhuhai, dan Shantou di Provinsi Guandong, serta Xiamen di Provinsi Fujian. Cina juga melakukan pilihan pragmatis dengan memeluk sistem ekonomi pasar sosialis. Dengan sistem ini, China dapat memeluk sistem ekonomi pasar dan tetap menegaskan sosialisme dengan karakteristik China sebagai arah pembangunan dan kemajuan China. Satu hal yang penting dari proses reformasi ini adalah adanya pemimpin China yang kharismatik, mulai dari Deng Xiaoping, Jiang Zemin, dan Hu Jintao, yang mampu meredam pertentangan di awal reformasi antara kelompok konservatif dan reformis, sekaligus menciptakan basis legitimasi bagi tumbuhnya sistem ekonomi pasar di China, dan fokus pada stabilitas dan kemakmuran rakyat. Cina telah menjadi buah bibir dunia. Pertumbuhan ekonominya rata-rata diatas 9% per tahun dalam dua dekade terakhir. China menjadi satu-satunya Negara di dunia yang mempunyai prestasi demikian dalam dalam dua dekade terakhir. Menurut Organisation for Economic Co-operation (OECD), China berhasil mengangkat status sosial ekonomi dari sebagian warganya yang miskin. Dikatakan juga, dari total pengurangan kemiskinan di dunia, setengah nya terjadi di China.
Indonesia memang tidak harus menempuh jalan seperti yang dilalui China karena banyak faktor kondisional yang pastinya berbeda di antara keduanya. Namun, yang penting adalah bagaimana basis ekonomi nasional yang kuat itu menjadi hal pertama dan utama yang harus dibangun oleh suatu negara untuk bersaing dengan kompetitif, apalagi di era perdagangan bebas dewasa ini. Di samping itu, strategi yang jelas dan terukur serta adanya seorang pemimpin yang nasionalis yang mau bersungguh-sungguh mampu melindungi pasar domestik dan fokus pada kemakmuran rakyatnya, merupakan hal penting yang tidak dapat diabaikan jika Indonesia kita ingin bangkit dari keterpurukan ditengah carut marut problematika negeri ini yang belum berujung. Semoga!